Pohon Tua
Rabu, 01 Juni 2016
Kisah ini saya tulis dua tahun yang lalu, jadi mohon maaf jika agak aneh dan gak jelas. Yang penting dibaca, hahaha!! Silakan komen kalau memang niat.
==========
"Ayo kita foto-foto dulu. Momen kayak gini mesti diabadikan,"
ajakku pada kekasihku, Nayla, sambil menyiapkan ponsel kesayanganku.
"Boleh," sahut gadis manis itu.
Aku
dan dia lalu asyik tenggelam dalam foto-foto selfie di wilayah hutan
pinus di gunung. Pepohonan tumbuh lebat di situ. Saat ini, aku
mengajaknya jalan-jalan ke kawasan gunung hanya untuk melepas kepenatan.
Alam yang masih alami, kesejukannya, dan keteduhannya tidak bisa aku
temukan di kota. Meskipun letaknya cukup jauh, namun aku tidak ambil
pusing. Canda dan tawa selalu menemani petualanganku dengan dia.
"Kita foto-foto di pohon itu, yuk," ajak Nayla sambil menggandeng tanganku.
Aku
memandangi sebuah pohon yang ditunjuk oleh Nayla. Aku sama sekali tidak
tahu pohon apa itu. Batangnya tampak kokoh, dedaunan lebat, dan cukup
tinggi. Pohon itu tampaknya sudah tua.
"Boleh, deh," jawabku.
Kami pun melanjutkan selfie di pohon tua itu.
***
"Cieee,
yang abis jalan-jalan ke gunung. Gak ngajak-ngajak, sih," goda
sahabatku, Doni, ketika aku sedang makan di sebuah kafe. Sedangkan dia
hanya memesan segelas jus.
"Hahaha! Muke gile! Kamu mau jadi 'kambing conge', Don?" ejekku. Nasi di mulutku membuncah sebagian ke meja.
"Kagak, dong! Aku kan bisa bawa cewekku," sahut Doni dengan memasang tampang sinis.
"Emang udah punya cewek?" ejekku lagi.
Doni memanyunkan mulutnya, "Mana foto-fotonya? Aku mau lihat," tanyanya.
"Buat apa? Nanti kamu malah kepengen," jawabku sambil mengambil ponsel di saku.
"Kagak bakalan!" sahutnya cepat.
Doni
mengambil ponsel di tanganku. Dia pun keasyikan melihat foto-fotoku
dengan Nayla sewaktu di gunung. Sedangkan aku melanjutkan makan.
"Siapa ini yang ada di belakangmu?" tanya Doni dengan tatapan masih ke ponselku.
"Siapa lagi kalau bukan Nayla, Don?" cuekku masih asyik makan.
"Bukan! Di belakang kamu dan Nayla!" tegas Doni.
Aku
pun mengambil ponsel yang ada di tangan Doni untuk melihat apa yang dia
lihat. Bola mataku membulat tatkala menatap foto yang dimaksud oleh
Doni. Tampak di belakangku ada sesosok wanita yang mengenakan pakaian
putih-putih lusuh. Sosok itu tengah melayang dan menatapku dengan tajam.
Seolah ada emosi di situ.
"I ... ini kan kuntilanak!" pekikku.
Kedua
tanganku seolah kaku. Mulutku pun tak lagi mengunyah. Padahal masih ada
nasinya. Tak henti-hentinya aku menatap foto di ponselku itu. Aku
ingat kalau foto ini diambil ketika ada di dekat pohon tua itu. Apakah
kuntilanak ini penghuni pohon tua itu?
"Don, kamu kenapa?" tanyaku ketika Doni menatapku dengan tegang.
"Di ... di ... di belakangmu ada ...," tegangnya dengan peluh mulai membasahi wajahnya.
"Ada apa?" tanyaku panik. Aku menoleh ke belakangku dan tak ada siapa-siapa di situ. Apalagi letakku ada di pojokan kafe.
"Kuntilanak!" pekik Doni lalu langsung hengkang meninggalkanku.
"Don!" panggilku sambil hendak bangkit.
Namun,
belum sempat melangkah, dadaku mulai sakit. Napasku mulai sesak. Tak
kusangka nasi yang masih ada di mulutku langsung menyumbat lubang napas
ketika aku memanggil Doni.
Aku mulai kejang-kejang bagai
cacing kepanasan di lantai kafe. Kuusahakan membuka mulut untuk
mengambil napas. Namun hal itu sia-sia belaka. Dadaku malah semakin
sesak.
Detik kemudian, aku mulai tenggelam dalam kegelapan
abadi. Begitu pekat dan mencekam. Dan dalam kegelapan itu, sosok yang
kulihat di fotoku menyapaku dengan sinisnya. Lambaian tangannya seolah
mengajakku untuk ikut dengannya.
"Selamat datang di duniaku," ucap sosok wanita itu.