Tikungan
Selasa, 21 Juni 2016
Kisah ini awalnya adalah flash fiction. Lalu, bagian ending saya panjangkan hingga hasilnya begini. Tulisan ini sempat saya ajukan ke salah satu media massa di kota saya. Namun, saya tampaknya lupa membubuhkan pesan pendahuluan di badan email sehingga mungkin pihak sana tidak membalas. Mungkin kesannya kayak tidak sopan. Tapi, puisi saya malah yang dimuat, sebab mengajukannya sama dengan puisi. Jadi, lebih baik saya posting saja di sini. Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komen.
==========
Hujan mulai membasahi bumi dengan lebatnya. Aku menghentikan
langkah tepat di sebuah tikungan jalan. Tikungan ini begitu tajam dan
sepi, letaknya pun di kelilingi pesawahan, sehingga siapa pun yang
hendak lewat sini mesti hati-hati. Apalagi, suasana sedang hujan.
Pakaian
yang dikenakan tampak basah kuyup. Namun, aku tak lagi mempedulikannya.
Aku bahkan tak peduli pada dingin yang menusuk-nusuk tubuh hingga
menggigil. Aku juga tak peduli mata pedih akibat hujan ini. Aku sengaja
hujan-hujanan begini. Sebab, ada sebuah hutang yang mesti dilunasi.
Pandanganku
kini hanya pada satu titik, yakni tengah jalan. Padahal, tak ada
apa-apa di situ. Tak ada mobil yang lewat. Juga tak ada suatu hal yang
sedap dipandang. Hanya jalanan aspal yang basah oleh hujan.
Aku
mengingat kembali kejadian satu minggu yang lalu. Tepat di sinilah,
awal semua kejadiannya. Kejadian yang tak akan aku lupakan sepanjang
hidup. Kekasih yang amat kucintai, tewas dihantam sebuah bus yang
melintas tepat di tikungan ini. Kejadiannya pun tepat ketika hujan
datang.
Semua ini akibat bus sialan itu. Kenapa pengemudi
bus itu tidak hati-hati saat melintasi tikungan ini? Jelas-jelas hujan
membuat jalanan menjadi licin. Dan jelas-jelas juga ada aku dan
kekasihku tengah melangkah di tepian jalan dan memakai payung hendak
pulang. Tapi kenapa? Kenapa mesti kekasihku yang dihantam bus sedangkan
aku tidak?
Andai saja waktu itu posisiku ada di dekat
jalan, pasti aku yang akan dihantam bus itu. Aku tak tahan dengan semua
ini. Menyaksikan kekasih tewas. Kenapa bukan aku saja yang tewas?
Aku
tahu, langit seolah ikut menangis melihat kepedihanku. Mendung ini,
hujan ini, dingin ini, seolah ikut hanyut melepaskan kekasihku menuju
alam lain. Tangisan pun ikut membuncah. Namun, aku tak tampak menangis
sebab ditutupi oleh hujan. Hujan ini menyembunyikan tangisanku.
Sungguh, aku tak bisa melupakan kejadian itu. Hingga puluhan tahun kemudian, kejadian itu akan abadi dalam otakku. Sangat sulit menghapusnya. Tak ada penghapus canggih sekalipun yang mampu menghilangkan ingatan kelam itu.
Kutatap
kembali jalanan basah itu. Sesekali mobil lewat dengan hati-hati. Semua
penumpangnya mungkin menatapku aneh yang tengah hujan-hujanan ini.
Namun, aku tak mempedulikan pasang mata yang melintas menatapku. Kelak,
semuanya akan mengalami nasib yang sama denganku, yakni kehilangan
kekasih yang amat dicintai.
Kini aku menunggu saat yang
tepat. Momen-momen ini sangat langka. Aku sudah menyiapkan konsep ini
matang-matang. Tanpa celah dan tanpa sedikitpun kegagalan.
Batinku
kembali mengalami konflik. Satu bisikan mengatakan bahwa aku jangan
melakukan ini. Kekasihku di alam sana pasti akan kecewa. Dia akan mati
sia-sia jika aku melakukan ini. Dia pasti akan mengatakan aku bodoh,
dungu, dan tolol. Namun, bagaimana dengan janjiku padanya? Yang bisa
kulakukan kini hanya menghela napas dingin saja.
Satu
bisikan lain mengatakan bahwa aku mesti melakukan ini. Dengan hal ini,
kekasihku di sana akan bahagia. Dia pasti senang sebab aku mematuhi
janji yang sudah diucapkan sama-sama, meskipun itu hanya awalnya saja.
Namun, aku juga hanya bisa menghela napas saja.
Sungguh,
aku bingung. Hati ini semakin dilanda kebimbangan. Konflik batinku ini
saling menguatkan meskipun saling tolak belakang. Keduanya memainkan
otakku yang sudah membeku akibat dinginnya hujan. Akal sehatku seolah
mulai hilang.
Di kejauhan sana, aku melihat sebuah bus
melaju ke tikungan ini. Sialnya, pandanganku mulai tak jelas akibat
lebatnya hujan. Namun, aku mesti tetap menjalankan misi ini.
Aku
menatap lekat-lekat bus itu dalam balutan hujan. Cat putihnya, bunyi
klaksonnya, tulisan 'Jaya' yang ditempel di kaca depan bis, seolah
membawaku kembali ke masa kelam itu. Tak salah lagi, bus itulah yang
menewaskan kekasihku. Ya, aku tak salah. Tak sia-sia penantianku selama
ini di tikungan ini.
Aku melangkah menuju tengah-tengah
jalan, siap menghadang bus yang sedang melaju itu. Aku tak peduli lagi
dengan nyawaku. Lebih baik aku mati menjemput kekasihku di alam sana
ketimbang hidup tanpanya. Dia adalah segalanya bagiku.
Aku
yakin bus itu pasti akan menghantamku. Hujan ini seolah ikut
mendukungku, dan siap menemaniku menemui sang kekasih di alam sana.
Kubentangkan kedua tanganku ke samping dengan kepala menengadah ke atas
dan mata memejam. Aku siap menyambut kematian ini.
Tooot!!! Tooot!!! Tooot!!!
Bunyi
klakson begitu melengking-lengking membelah lebatnya hujan. Tampaknya,
bus sudah semakin mendekat dan siap membelok. Aku tak tahu pastinya,
sebab mataku memejam. Aku ingin menikmati detik-detik kematian ini tanpa
menatap bus yang akan menewaskanku itu.
Ckiiit!!!
Bunyi decitan ban yang menggesek jalanan aspal begitu memekakkan telinga. Angin mengembus kencang di depanku.
Aneh.
Sedetik kemudian tampaknya aku tak mengalami apa-apa. Semestinya, aku
sudah dihantam oleh bus itu, lalu meninggalkan dunia yang fana ini.
Tapi, kenapa napas ini masih melekat di tubuhku?
"Hei! Kamu sudah gila, ya?!"
Sayup-sayup,
telingaku menangkap ada yang mengucapkan sesuatu. Siapakah itu? Aku pun
membuka mataku pelan-pelan. Di depanku kini menampang sebuah bus yang
hanya sejauh satu langkah.
Aku menatap ke sesosok lelaki
yang mendekatiku. Tampaknya, dia sudah setengah baya. Namun, wajahnya
tak begitu jelas. Hujan lebat ini sudah memainkan penglihatanku. Mataku
mulai pedih kembali, sama pedihnya dengan hatiku ini.
"Hei!
Kamu sudah bosan hidup, ya? Ngapain di tengah-tengah jalan begini?"
tanya lelaki itu dengan nada tidak sopan. Tampaknya, dia begitu emosi.
Aku
mulai paham kini. Sang pengemudi menghentikan busnya akibat ada aku di
tengah jalan. Mungkin lelaki ini adalah si pengemudinya.
Aku layangkan senyuman. "Iya, aku sudah bosan hidup. Hantam aku dengan bus-mu," ucapku.
Lelaki
itu mendesah panjang, lalu mendekatiku. Kali ini aku bisa melihat
tatapan matanya yang tajam. Tatapan itu seolah penuh emosi. Bagaikan
singa yang diusik habitatnya, siap mengamuk.
Namun lagi-lagi, aku tak peduli. Aku tak takut padanya. Aku sudah siap mati, jadi siap saja jika hendak dibunuh.
"Kamu mau mati? Oke!" ucap lelaki itu sambil layangkan bogem mentah.
Aku
menutup mata kembali. Meskipun aku tahu ini pasti sakit sekali dan
belum tentu menewaskanku, tapi aku ingin menikmati sensasinya. Sakit ini
belum sebanding dengan yang dialami oleh kekasihku. Kalau bisa, aku
ingin sakit yang lebih ketimbang kekasihku.
"Tahan!"
Telingaku
kembali menangkap ucapan lelaki yang lain. Aku pun membuka mata. Bogem
mentah tepat satu jengkal di depan hidungku. Lelaki itu menatap ke
belakangnya. Aku pun ikut menoleh ke belakangnya.
Di situ
tampak sesosok lelaki tua mengenakan gamis putih dan di kepalanya
memakai kopiah putih. Dia memakai payung. Bisa kutebak, dia adalah ustad
atau kyai. Wajahnya begitu meneduhkan dengan jenggot lebat di dagunya.
"Tak
usahlah ada masalah di sini. Kita bisa omongin ini baik-baik di dalam
bus saja. Di sini hujannya semakin lebat," ucap lelaki tua itu.
Entah
mengapa batinku begitu tenang dengan ucapan lelaki tua itu. Seolah ada
kekuatan gaib yang membisikkan sesuatu ke telingaku. Ucapannya begitu
teduh, dan mampu memadamkan emosiku yang memanas ini.
Kulihat
lelaki yang hendak menghadiahkanku bogem mentah itu tampak diam.
Mungkin dia juga mengalami hal yang sama denganku, yakni bungkam akibat
ucapan lelaki tua itu.
Aku pun diajak masuk ke dalam bus.
Di situ, aku ditanyai habis-habisan oleh lelaki jenggot itu bagaikan
penjahat yang ketangkap basah. Yah, memang aku sudah basah kuyup begini.
Namun, yang bisa kusahut hanya jawaban singkat-singkat saja. Kulihat,
bus sudah melaju, meninggalkan tikungan yang penuh kenangan pahit.
Tidak,
ini tak boleh begini. Agenda yang sudah kubuat matang-matang akan
sia-sia saja. Tanpa pamit, aku pun langsung menuju pintu bus, lalu
melompat.
Tubuh ini jatuh guling-guling di aspal jalanan
yang basah. Tangan dan kaki dipenuhi luka-luka. Ah, betapa sakitnya.
Tapi, ini tak bisa menggantikan sakitnya kekasihku. Dengan susah payah,
aku pun bangkit. Sedangkan bus itu tetap melaju menjauh meninggalkanku.
Yah, mestinya memang begitu. Walaupun begitu, siapa yang nantinya akan
menghabisi nyawaku?
Tampaknya hujan mulai lebat. Pandanganku semakin tak jelas di depan. Dinginnya bagaikan jutaan pisau menusuk-nusuk.
DUAAAK!!!
Tiba-tiba,
ada yang menghantamku tepat di belakang. Aku langsung jatuh
guling-guling di jalanan aspal. Luka-luka semakin banyak di tubuh dan
tulang-tulang patah semua. Muncul lelehan hangat dan bau amis di kepala.
Ah, mungkin sakit inilah yang dialami oleh kekasihku.
Tampaknya, ada mobil yang menghantamku. Mobil itu malah tetap melaju dan tidak mencoba menolong.
Ah, mungkin ini memang sudah jalan hidupku.
Langit
masih menangis melalui hujan dan mendungnya. Mataku semakin lama
semakin memejam dalam lebatnya tetesan hujan. Meskipun konsepku sedikit
melenceng, intinya aku bisa menyusul kekasihku di alam sana. Janji
kepadanya sudah kutepati, bahwa aku akan setia dalam hidup dan matinya.
Sebab, aku dan dia adalah cinta sehidup semati.
Selamat tinggal dunia.
Sungguh, aku tak bisa melupakan kejadian itu. Hingga puluhan tahun kemudian, kejadian itu akan abadi dalam otakku. Sangat sulit menghapusnya. Tak ada penghapus canggih sekalipun yang mampu menghilangkan ingatan kelam itu.