Ting!
Sabtu, 18 Juni 2016
Awal menulis kisah ini masih dalam bentuk flash fiction. Lalu, saya kembangkan dan panjangkan. Endingnya pun diubah. Jadi, hasilnya menjadi begini. Judul sengaja saya pakai begitu sebab unik saja. Awalnya judulnya "Lift", lalu saya ubah. Makasih kepada salah satu teman dunia maya saya yang menyukai kisah yang katanya 'epic' ini. Entah, apa yang di benaknya, tapi makasih buat dia. Maaf saya tidak bisa menyebutkan namanya sebab mengandung alfabet itu, hahaha. Tapi saya hanya bisa menyebutnya di sini.
Selamat membaca dan tinggalkan komen.
==========
Waktu
sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Silvie memasukkan semua file di atas mejanya ke dalam tas.
Wajahnya melukiskan kelelahan yang amat sangat. Semua tubuhnya, yakni pundak,
kepala, tangan, punggung, hingga kaki mulai pegal-pegal. Ingin sekali dia
cepat-cepat pulang dan melepas lelah.
Tempat
itu sudah sepi. Dia sudah tak menemukan lagi teman-temannya, sebab semuanya
sudah pulang lima jam yang lalu. Cahaya lampu pun hanya di tempat-tempat khusus
saja yang dinyalakan. Dan dia hanya dibantu oleh cahaya lampu meja ketika
menyelesaikan tugasnya tadi.
Setelah
semuanya sudah dimasukkan ke dalam tas, dia mematikan lampu meja. Kemudian
cepat-cepat melangkah menuju lift yang letaknya tidak begitu jauh. Dia cemas
kalau satpam gedung sudah mematikan lift-nya. Dalam keadaan sangat lelah
begitu, dia enggan melewati tangga. Apalagi sudah bisa dipastikan kalau
tangganya gelap.
Di
depan pintu lift, dia langsung menekan tombol di samping pintu. Sesaat, dia
menatap ke kanannya. Gadis itu melihat satpam melangkah mendekatinya. Silvie
langsung layangkan senyuman hangat.
“Silvie,
pulang malam lagi?” sapa sang satpam setengah baya itu. Badannya lumayan
tambun.
“Iya,
Pak Kasim. Banyak tugas menumpuk. Mumpung mau cuti panjang, jadi tugas-tugasnya
mesti diselesaikan secepatnya. Supaya cutinya nanti bisa tenang,” senyum gadis
itu.
“Oh
ya? Cuti untuk apa?” tanya satpam tambun itu lagi.
“Oh
iya, aku belum sempat kasih tahu. Minggu depan nanti aku mau nikah, Pak Kasim.
Makanya mau cuti untuk bulan madu,” sahut Silvie, “undangannya besok aku kasih.”
“Oh
ya? Wah selamat, ya. Gak nyangka kamu nikah juga setelah lama mengalami putus
cinta.”
“Ah,
Pak Kasim bisa saja,” ucap Silvie sambil malu-malu, “nanti datang, ya.”
Satpam
gemuk itu mengangguk, “Oke, Silvie. Aku pasti datang.”
“Makasih,”
senyum gadis itu.
Silvie dan Pak Kasim memang sangat dekat. Sebagai satpam yang menjaga bagian dalam gedung, memang dia sudah kenal baik dengan pegawai-pegawainya. Bahkan sempat ada yang mengungkapkan keluh kesahnya kepada sang satpam. Silvie pun demikian. Dia tidak canggung mengisahkan hubungan cintanya kepada lelaki yang usianya 20 tahun lebih tua itu.
“Kamu
mesti cepat-cepat pulang, Silvie. Kamu kelihatan lelah sekali. Jangan sampai
nanti sakit menjelang nikah,” selidik satpam itu.
Silvie
mendesah panjang, “Hehehe. Iya, Pak Kasim. Mau cepat-cepat pulang dan bobo,
nih,” sahutnya.
Ting!
Pintu
lift pun membuka. Silvie dan satpam itu sama-sama menoleh ke dalam lift.
“Ya
sudah, hati-hati ya pulangnya. Awas, jangan mau digoda dua satpam di bawah,” pesan satpam itu. Entah mengapa diagelagat
tidak mengenakkan dalam hatinya. Dia hanya bisa memanjatkan doa saja supaya
Silvie bisa pulang dengan selamat.
Silvie layangkan senyum sambil
mengangguk. “Iya, Pak Kasim,” sahutnya. Cepat-cepat dia masuk ke dalam lift
supaya pintu tidak menutup lagi.
Ting!
Pintu
lift menutup. Silvie langsung menekan tombol angka 1. Lift pun mulai jalan ke
bawah.
Pak
Kasim masih menatap lift yang dimasuki oleh Silvie. Wajahnya melukiskan kegelisahan. Setelah menimbang-nimbang,
dia menekan tombol untuk lift di sebelahnya, lalu masuk ke situ setelah
pintunya membuka.
Di
dalam lift, Silvie menghela napas panjang. Dia sudah sangat kelelahan. Tas yang
dia bawa bagaikan ada batu di dalamnya, bobotnya sangat membebani pundaknya.
Padahal isinya hanya file-file yang pastinya sangat enteng. Ditambah
sepatu hak tinggi yang dipakainya ini seolah begitu lengket dan telapak kakinya
sakit semua. Padahal dia hanya duduk-duduk saja tadi, tidak bolak-balik
layaknya pelayan kafe.
Dia
menempelkan punggungnya ke dinding lift belakangnya hanya untuk melepaskan
lelah sejenak. Dinginnya dinding lift membuat dia agak nyaman. Sesaat kemudian,
matanya mulai mengantuk.
Ting!
Pintu
lift membuka, tepat di lantai 20. Lamunan dan kantuk Silvie menjadi lenyap. Dia
juga lumayan kaget dengan pintu lift yang membuka itu.
Tampak,
pemuda dengan tubuh ceking yang sedang membawa sapu dan kain pel masuk ke dalam
lift. Dia menatap sekilas Silvie dengan dingin, lalu menekan tombol angka 3 di
dekat pintu lift.
Ting!
Pintu
lift menutup dan kembali menuju ke lantai bawah.
Melihat
pakaian yang dikenakan, Silvie tahu kalau pemuda itu adalah OB gedung ini. Dia
sama sekali tidak mengenalinya. Jadi, dia tak begitu mempedulikan sang OB yang
kini ada di sampingnya. Dia kembali hanyut dalam lamunannya. Kelelahan yang
menguasai tubuhnya membuat dia kembali mengantuk. Silvie sangat ingin
menempelkan kepalanya di atas bantal kesayangannya, dan ditemani guling, lalu
memejamkan mata dan dibuai mimpi yang indah. Namun kini dia mesti menahan dulu
keinginannya itu, sebelum tiba di kediamannya.
Beda
dengan Silvie yang acuh tak acuh dengan yang ada di sampingnya, OB itu menyapu
pandangannya ke setiap jengkal tubuh Silvie. Ada tatapan yang menakutkan di
wajahnya. Bagai singa yang memantau calon mangsanya. Hidungnya pun mengendus-endus
wangi tubuh Silvie. Dia begitu dibuai oleh keelokan wajah dan wewangian yang
dikenakan Silvie.
Sedangkan
Silvie sama sekali tidak mengetahui kelakuan OB di sampingnya. Meskipun begitu,
dia mulai menangkap ada sesuatu yang ganjil dengan sang OB. Namun, dia tetap
tidak mempedulikannya. Tubuhnya sudah sangat lelah.
Ting!
Tiba
di lantai 3, lift menjadi diam lalu pintunya membuka. OB itu cabut meninggalkan
Silvie sambil membawa benda-benda yang dia bawa sebelumnya. Dia sempat
melayangkan senyuman dingin kepada Silvie.
Melihat
hal itu, Silvie cepat-cepat menekan tombol angka 1 di samping pintu lift. Dia
ingin sosok OB dengan tatapan aneh itu menghilang. Agak takut juga dia ditatap
demikian. Apalagi suasana sudah malam, dan di lantai 3 tadi cahayanya sangat
minim. Untung saja cahaya lift ini tidak dimatikan.
Ting!
Pintu
lift pun menutup kembali, lalu mulai jalan ke bawah. Silvie mulai lega.
Tiba
di lantai 1, Silvie cepat-cepat melangkah menuju lobi gedung. Kantuknya mulai
menguasai matanya. Lobi
yang luas itu tampak sepi. Bahkan bunyi ketukan langkahnya menggema. Tak ada
siapapun di situ, hanya ada dua satpam yang menjaga pintu masuk depan. Keduanya
pun siap-siap untuk menyambut Silvie.
“Pulangnya
kemalaman, Mbak?” sapa salah satu satpam yang masih muda.
Silvie
mengangguk, “Iya, Pak. Banyak tugas menumpuk.”
Satpam
yang tua membuka pintu depan gedung. “Pasti lelah sekali. Sudah dicek ada yang
ketinggalan tidak?” tanyanya sopan.
Silvie
melonjak kaget. Kemudian, dia langsung mengecek tasnya. “Oh, shit! Dompetku
ketinggalan di laci meja!” keluh Silvie sambil menepuk dahinya. Dia langsung
menoleh ke belakang.
“Mau
kuambilkan, Mbak?” tanya satpam yang muda mengajukan bantuan.
Silvie
menggeleng cepat, “Gak usah, makasih. Aku saja,” jawabnya cepat, sambil kembali
lagi ke lobi meninggalkan dua satpam itu.
Dalam
keadaan lelah begini, dia bisa saja meminta bantuan untuk mengambilkan
dompetnya kepada dua satpam itu, dan dia bisa menunggu di lobi. Namun, meskipun
dua satpam itu tampak baik, dia tetap tidak yakin kepada keduanya. Apalagi dia
tidak menghitung jumlah uang di dompetnya. Bukan tidak mungkin, kedua satpam
itu akan mengambil uang miliknya tanpa sepengetahuan. Ditambah, dia tidak
begitu dekat dengan dua satpam penjaga pintu depan. Hanya Pak Kasim yang dia
kenal baik.
Tiba
di depan lift, dia langsung menekan tombol di samping pintu lift. Gelagatnya
mulai gelisah. Dia mengeluhkan dompetnya yang ketinggalan itu. Kenapa mesti
dompetnya yang ketinggalan? Andai saja bukan dompet, dia tak akan
mempedulikannya, sebab bisa diambil besoknya. Namun, jika dompet yang
ketinggalan, dia tak akan bisa membeli makanan untuk makan malamnya ketika
sudah pulang dan juga untuk kebutuhan keesokannya.
Ting!
Pintu
lift membuka, dia cepat-cepat masuk ke dalam dan menekan tombol angka 30,
tempat dia melakukan aktivitas biasanya.
Ting!
Pintu
lift pun menutup kembali, lalu lift mulai jalan ke atas.
Mata
Silvie fokus menatap ke panel LED penunjuk lantai di atas lift. Dia ingin
cepat-cepat sampai di lantai 30. Napasnya menjadi kembang-kempis akibat sudah
sangat kelelahan. Tiba di lantai 3, lift menjadi diam. Pintunya pun membuka.
Ting!
Masuklah
OB yang tadi ke dalam lift. Dia tampak membawa sebuah tas di pundaknya. Kali
ini dia memakai jaket jeans. Hal itu membuat Silvie menjadi kaget. Dia
menjadi gelisah. Kenapa dia bisa ketemu lagi dengan OB ini? Padahal liftnya ada
dua macam. Dan pastinya, lift khusus untuk OB pasti sudah disediakan. Kenapa
mesti memakai lift untuk pegawai? Entah kenapa dia begitu ketakutan dengan OB
itu.
Ting!
Pintu
lift menutup setelah OB itu menekan tombol 35. Lift pun kembali menuju ke atas.
Dua
insan itu tampak saling diam di dalam lift, menunggu sampai tiba di lantai
tujuan masing-masing. Sang OB menempelkan punggungnya di dinding bagian kanan
lift. Matanya selalu menatap Silvie dengan tatapan dingin. Senyumnya tampak
aneh.
Silvie
yang selalu menatap panel LED lift menjadi menoleh pelan ke OB yang ada di
kanannya. Kecemasan mulai menguasai benak gadis itu kala menatap sang pemuda.
Senyuman OB itu seolah mengandung makna, dan sifatnya negatif.
“Kenapa
balik lagi, Mbak?” sapa OB itu.
Silvie
diam sejenak. Ada kebimbangan untuk menjawab. Namun, dia mencoba untuk tidak
gugup. “Ada yang ketinggalan di laci,” sahut Silvie sekenanya.
OB
itu maju dua langkah untuk mendekati Silvie. Senyuman dingin selalu mengembang
di wajahnya. “Cewek secantik kamu pulang malam gini. Gak capek?” tanya OB itu
lagi.
Silvie
mulai panik. Dia sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dengan pemuda itu.
Penampilannya memang biasa saja. Tapi tatapan matanya bagai macan yang sudah
menemukan mangsanya dan siap untuk dilahap. Peluh dingin mulai muncul di wajah
Silvie yang cantik.
Silvie
menatap sesaat ke panel LED di atas pintu lift untuk memastikan, sudah tiba di
lantai mana. Dan tampaknya lift sudah mencapai lantai 27.
Silvie
kembali menoleh ke pemuda itu. “Banyak tugas,” jawabnya cepat.
Pemuda
itu mengangguk-angguk sinis. Dia mengambil sebuah pulpen di saku jaketnya,
kemudian menulis sesuatu di telapak tangannya. Silvie tak tahu apa yang ditulis
oleh pemuda itu.
Silvie
semakin gelisah. Dia ingin cepat-cepat menjauhi OB yang gelagatnya mulai aneh
itu. Jika melihat wajahnya yang tampak asing di mata Silvie, OB itu belum lama
di sini. Mungkin satu atau dua minggu.
Ting!
Pintu
lift pun membuka ketika tiba di lantai 30. Silvie cepat-cepat melangkah
menjauhi OB itu. Untungnya OB itu tidak mengikuti. Dan, ketika pintu lift
hendak menutup, Silvie masih bisa melihat wajah OB itu yang senyumnya sumbang.
Sosoknya pun hilang di balik pintu lift yang menutup.
***
Sehabis
mengambil dompet, Silvie menatap jam tangannya dengan dibantu cahaya lampu di
atap gang depan pintu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Jam-jam segini dia biasanya sudah lelap dan dibuai mimpi. Namun kali ini saja
beda akibat tugas yang menumpuk.
Silvie
tampak bingung ketika tiba di depan pintu lift untuk kembali ke lantai 1. Di
situ ada dua buah lift. Dia menduga-duga jika sang OB pasti akan menggunakan
lift yang sebelumnya dinaiki.
Silvie
kini semakin mewaspadai OB aneh itu. Meskipun sang OB tidak melakukan apapun
kepadanya, namun Silvie tetap mesti memasang mata awas. Tindak-tanduknya selama
di lift itu tampak aneh. Dan juga, Silvie sama sekali belum melihat OB itu di
gedung ini.
Silvie
pun memutuskan untuk menggunakan lift satunya. Dia langsung menekan tombol di
samping pintu lift.
Ting!
Pintu
lift pun membuka. Namun, betapa kagetnya Silvie ketika melihat ke dalam lift.
Tampak di situ, satpam yang dia kenal, Pak Kasim duduk di lantai dan menopang
badannya ke dinding lift dengan pisau menancap di dahinya. Mulut satpam tambun
itu menganga dan matanya melotot ke atas. Bisa dipastikan, dia sudah tewas.
“AAAHHH!!!”
pekik Silvie sejadi-jadinya.
Dalam
keadaan panik, dia langsung kembali ke lift sebelumnya. Silvie menekan-nekan
tombol di samping pintu lift supaya pintu cepat dibuka. Napasnya pun tak kalah
cepatnya.
Ting!
Pintu
lift pun membuka. Dan, ketika Silvie hendak masuk, dia dikagetkan kembali. Bola
matanya membulat tatkala menatap ke dalam. Tampak di situ sang OB ceking tadi
sedang menatapnya dingin sambil membawa sebilah golok. Sontak hal itu langsung
menciutkan nyali Silvie.
Gadis
itu melangkah pelan ke belakang, menjauhi pintu lift. Wajahnya begitu ketakutan
bagai melihat setan. Detak jantungnya mulai kencang.
Sang
OB melangkah maju mendekati Silvie. Hal itu membuat sang gadis menjadi
ketakutan dan secepatnya memilih hengkang menjauhi si pemuda. Meskipun begitu,
si pemuda OB pun tak mau kalah. Dia tetap mengikuti Silvie demi menangkapnya
dengan melangkah pelan dan santai. Golok di tangan kanannya selalu digenggam
dengan kencang.
Silvie
membelok masuk ke dalam tempat yang gelap, lalu sembunyi di bawah salah satu
meja. Tempat yang dia datangi itu bukan lain adalah yang sebelumnya dia masuki.
Dan meja tempat dia sembunyi adalah meja miliknya. Dia sudah hapal susunan
meja-meja di situ, sehingga tanpa dibantu cahaya pun dia bisa menemukan
mejanya. Dia ingin OB aneh itu tidak bisa menemukannya dalam gelap.
Detak
jantungnya semakin cepat. Peluh dingin mulai membasahi pakaiannya akibat sangat
was-was. AC-nya juga sudah dimatikan, sehingga membuat suasananya semakin
panas. Lelahnya kini menjadi hilang sudah. Hanya ketakutan yang menyelimutinya.
Takut akan dibunuh.
Tanpa
diduga, OB yang membawa golok itu sudah tiba di depan pintu. Matanya menatap
buas ke sekeliling bagai pemangsa yang kehilangan mangsanya. Namun, dia pun
layangkan senyuman sinis menatap tempat gelap itu.
“Yuhuuu,
ada yang main petak umpet, nih,” ucap pemuda itu sambil masuk. Dalam pantulan
cahaya minim di jendela, dia bisa melihat meja-meja yang dipisahkan oleh
semacam papan kayu sebagai penyekatnya, yang biasa digunakan
oleh pegawai-pegawai melakukan aktivitas biasanya, salah satunya Silvie.
Silvie
tetap diam tak menjawab dalam ketakutan yang amat sangat.
“Saya
belum lama di sini, mungkin sudah seminggu. Kamu tahu, saya sangat bosan jika
tidak membunuh. Dan semenjak di sini saya belum membunuh satu pun. Bagi saya,
membunuh itu sangat menyenangkan. Ada kepuasan dalam hati saya ini. Dan tangan
sudah mulai gatal kalau belum membunuh,” oceh OB itu sambil melihat sekeliling
dengan santainya, demi menemukan Silvie. Dia mengecek di balik pintu, namun
hasilnya nihil. Meskipun begitu, senyumannya tak hilang.
Selain
itu, pemuda ceking itu juga mengecek dinding demi menemukan tombol untuk
menyalakan lampu. Namun, dia tampaknya tidak menemukannya. Sebagai gantinya,
dia menyalakan lampu meja di tiap-tiap meja. Semua itu dilakukan dengan santai,
seolah tidak takut kehilangan mangsanya.
“Kamu
pasti tahu satpam gendut itu sudah mati di dalam lift sana. Saya-lah yang
membunuhnya. Tenang saja, itu masih aksi awal-awal. Mungkin akan ada tiga lagi
yang akan saya bunuh. Salah satunya adalah kamu,” lantang pemuda itu hingga
menggema. “Sejak awal melihatmu di lift tadi, kamu jadi mangsa saya yang sangat
istimewa. Makanya saya menulis calon mangsa saya di telapak tangan, supaya saya
tidak lupa siapa saja yang sudah saya bunuh ketika pulang nanti. Lihat, hanya
kamu dan satpam gendut itu yang saya tulis. Nanti juga akan ada nama dua satpam
di bawah yang akan saya tulis di sini. Maaf ya, saya belum tahu namamu jadi
saya cuma menulis 'cewek cantik' saja di sini.”
Silvie
menutup mulutnya dengan telapak tangan. Jadi yang ditulis oleh OB itu di
telapak tangan adalah calon mangsanya. Dia tak bisa membayangkan akan dibunuh
oleh pemuda gila itu. Dia mulai menangis akibat ketakutan. Bunyi isakannya
dipelankan supaya tidak ditangkap oleh telinga OB itu.
Tuk
... tuk ... tuk ...!
Bunyi
langkah pelan sepatu sang OB mulai mendekat, dan tiba-tiba diam tepat di depan
meja Silvie, tempat Silvie sembunyi. Sontak hal itu membuat Silvie semakin
ketakutan setengah mati.
“Nampaknya,
mejamu yang ini,” ucap pemuda OB itu.
Klik!
Sang
OB menyalakan lampu meja milik Silvie. Matanya menatap dingin ke meja milik
calon mangsanya itu. Apalagi, ada bingkai foto Silvie di situ.
“Jadi
namamu adalah Silvie Meilani, nama yang bagus,” ucap OB itu menatap papan nama
di foto, “cewek secantik kamu suka pelupa juga. Kamu lupa menutup kembali laci
meja yang sebelumnya kamu gunakan untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan.
Bisa kutebak, yang ketinggalan itu pasti dompet,” ucapnya sambil menutup laci
meja Silvie.
Silvie
semakin ketakutan di bawah meja. Dia bisa melihat golok yang mengkilat-kilat
ditimpa cahaya lampu meja yang di genggam pemuda itu. Tenaganya pun melemas
semua.
OB
itu kemudian kembali melangkah pelan. “Cewek biasanya gak mau susah-susah balik
lagi untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan, apalagi dalam keadaan lelah.
Dengan kata lain, yang ketinggalan itu sesuatu yang sangat penting. Yang
biasanya disimpan dalam laci bagi cewek adalah dompet dan alat-alat make up,” ucap OB itu melanjutkan
kata-katanya.
Silvie
yang mulai lega sedikit, kaget kembali akibat pemuda itu tiba-tiba jongkok di
depannya dan menatapnya. Jantungnya bagaikan mau copot.
“Iya
kan, Silvie Meilani?” ucap OB itu melotot sambil mengayunkan goloknya.
“AAAHHH!!!”
pekik Silvie.
Jleb!
***
Silvie
membuka matanya pelan-pelan. Untuk sesaat dia tampak bingung dengan kejadian
tadi. Tangannya sibuk menyentuh tubuhnya yang masih utuh. Dia tak tahu mengapa
dia sudah duduk di lantai lift. Matanya menatap sekelilingnya yang tak lain ada
di dalam lift. Dia memandang panel LED penunjuk lantai lift.
“Cuma
mimpi,” gumamnya lega.
Akibat
kelelahan, Silvie mengantuk kemudian lelap. Dia sempat mengalami mimpi yang
menakutkan. Padahal hanya sesaat saja dia lelap, sejak awal memasuki lift di
lantai 30, hingga kini sudah tiba di lantai 10. Namun, mimpi itu sangat panjang
bagi Silvie.
Lift
semakin ke bawah, menuju lantai 1. Mata Silvie yang masih mengantuk itu sangat
pedih. Dia ingin cepat-cepat pulang. Lift yang dia naiki itu bagaikan ayunan
yang meninabobokannya, membuat dia semakin mengantuk. Tapi dia tetap menjaga
matanya untuk tidak menutup. Dia juga mesti fokus mengemudi mobilnya nanti
untuk pulang. Tentu hal itu akan menakutkan baginya jika kantuk mengganggunya.
Ting!
Pintu
lift membuka ketika tiba di lantai 1. Dengan santai, Silvie mulai melangkah.
Namun, tepat di pintu lift dia menghentikan langkahnya. Matanya melotot dan
ketakutan bagai melihat setan. Dia pun memekik.
“AAAHHH!!!”
Tepat
di hadapannya, dua onggok tubuh penuh luka menghalangi langkah Silvie. Dua
tubuh itu tak lain adalah dua satpam keamanan penjaga pintu depan di lantai 1.
Bisa dipastikan keduanya sudah tewas. Hal itu membuat tubuh Silvi jatuh lemas.
Gadis
itu kembali dikejutkan oleh sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. Dia tak
lain adalah OB yang ada di dalam mimpinya itu. Wajahnya, bentuk tubuhnya,
pakaiannya, tatapan matanya, dan langkahnya sama dengan yang ada di mimpi
Silvie. OB itu tampak membawa sebilah golok. Silvie pun semakin ketakutan
setengah mati.
OB
itu menatap tajam kepada Silvie, lalu mendekatinya. Silvie mengingsut masuk
kembali ke dalam lift demi menjauhi OB itu. Detak jantungnya semakin cepat dan
peluh dingin membasahi wajahnya dengan cepat. Celakanya, dia sudah tak bisa ke
mana-mana lagi.
“Mangsa
tambahan,” ucap OB dengan tubuh ceking itu. Dia pun mengayunkan goloknya dengan
cepat.
“AAAHH!!!”
pekik Silvie kembali.
Jleb!
Golok
itu menancap tepat di dahi gadis malang itu, membuat luka menganga dan fatal.
Dia pun tewas seketika.
Ting!
Pintu
di lift sebelah membuka.
“Tidaaak!
Apa yang kau lakukan, Nak?” tanya satpam dengan tubuh tambun yang tiba-tiba
sudah ada di depan pintu lift.
OB
itu menoleh pelan ke belakang dengan tatapan dingin. “Gadis ini melihat aksi
saya, Yah. Jadi, dia mesti saya bunuh demi membungkam mulutnya,” ucapnya
santai.
“Apa?”
sahut satpam itu kaget. Kakinya tampak melemas. “Jadi kamu mengeksekusinya
malam ini? Kenapa kamu gak bilang dulu sama ayah?”
OB
itu hanya diam saja dengan tatapan masih dingin. Tidak ada ketakutan sedikit
pun di wajahnya. Dia pun melangkah ke pintu lift dan menekan sebuah tombol
supaya pintu lift itu tetap membuka.
Satpam
tambun yang tak lain adalah Pak Kasim ini maju dan jongkok di depan mayat
Silvie. Ada wajah penyesalan yang dilukiskan. Dadanya seolah-olah sangat sesak
sehingga sulit untuk mengatakan sesuatu. Dia bagai dihadapi oleh dosa yang
tidak bisa diampuni.
“Tak
kusangka ... tak kusangka kamu mesti menjadi mangsa yang tak sengaja dibunuh
oleh anakku, Silvie. Pantas saja aku kayak ada gelagat tidak enak tadi sewaktu
kamu masuk ke dalam lift. Padahal aku hanya dendam kepada dua satpam sialan itu
saja dan meminta anakku yang punya kelainan psikopat untuk mengeksekusinya.
Sialnya, anakku itu sangat pendiam sehingga tidak menjelaskan kepadaku kapan
akan membunuh dua satpam sialan itu. Andaikan ... aku tahu kalau malam ini
eksekusinya, tentu aku akan mencegahmu pulang. Aku memang bodoh. Maafkan aku,
Silvie. Maafkan,” isaknya. Pelupuk matanya tampak basah.
Untuk
sesaat, satpam tambun itu menangis sesenggukkan. Isakannya menggema di dalam
lift yang pintunya belum menutup itu. Dia memang sudah sangat dekat dengan
Silvie. Bahkan Silvie sangat baik dan sopan kepadanya. Sebagai satpam yang
menjaga bagian dalam gedung, tentu dia sangat dekat dengan pegawai-pegawai di
sini. Lain halnya dengan dua satpam penjaga pintu depan. Pak Kasim memiliki
dendam kepada keduanya yang diakibatkan oleh pengaduan yang tak masuk akal. Dua
satpam itu mengadu kepada atasannya bahwa Pak Kasim selalu memakan gaji buta.
Bahkan dikatakan kalau Pak Kasim selalu malas-malasan jika sedang tugas jaga.
Hal itu mengakibatkan gajinya dipotong banyak. Padahal Pak Kasim sama sekali tidak
melakukannya. Namun, dia selalu tabah dalam menghadapinya. Sayangnya, dia sudah
tak tahan lagi. Makanya, dia memasukkan anaknya ke situ guna membantunya
membalaskan dendam.
Kini
dia menyesali atas kematian Silvie yang tak diduga ini. Padahal tak lama lagi
gadis itu akan menikah. Jelas ini pukulan telak bagi Pak Kasim yang sudah kenal
baik dengan Silvie.
Satpam
tambun itu kemudian bangkit sambil membuang muka. Bekas tangisannya dilap
dengan pakaian. Helaan napasnya penuh dengan beban yang memilukan.
“Masukkan
tiga mayat ini ke dalam kantong plastik, lalu buang ke sungai. Atasi TKP ini.
Aku tak ingin ada satupun jejak kita yang masih menempel di sini,” ucapnya,
lalu meninggalkan anaknya itu.
“Siap,
Ayah.”