Jamuan Minum Teh
Kamis, 14 Juli 2016
Tulisan satu ini sempat saya posting di salah satu komunitas Facebook. Ada yang bilang jika kisah ini membuatnya mual minum teh. Tapi, saya tidak ada maksud begitu. Lalu, tulisannya saya edit lagi dan panjangkan hingga begini. Well, selamat membaca dan tinggalkan komen.
==========
Pagi
menyambut hangat, membelai bumi dengan indahnya. Aktivitas manusia mulai
bangkit dengan penuh semangat. Buaian mimpi belaka kala lelap tadi malam mesti
dilupakan, saatnya kembali ke kenyataan.
Bayu
memulai aktivitasnya dengan tak kalah semangat. Malam tadi dia asyik menelepon
dengan sang kekasih, bahkan hingga tengah malam. Meskipun besoknya dia mesti
kuliah, namun dia tidak peduli. baginya, sang kekasih adalah segalanya.
Setelah
bangun, Bayu langsung mandi, lalu mulai siap-siap menuju kampus setelah
mengenakan pakaian. Dia sengaja tidak makan dahulu, sebab baginya makan
pagi-pagi membuatnya agak mual dan ingin muntah. Makanya, dia lebih memilih
makan di kampus dan agak siang.
Belum
lama Bayu mengunci pintu depan tempat tinggalnya, sebuah panggilan yang hangat
menyapa telinganya.
“Bayu!”
Bayu
menoleh ke si penyapa. Dia melihat sesosok lelaki tua yang tampak masih tegap
dengan wajah penuh kebahagiaan, seolah menemukan emas yang sudah lama
menghilang. Lelaki itu duduk di depan sebuah meja kayu bulat di halaman tempat
tinggalnya, yang letaknya tepat di sebelah kediaman Bayu.
“Ada
apa, Pak?” tanya Bayu sopan, sambil memasukkan kunci pintu ke dalam saku
celananya.
“Mau
kuliah, ya?” tanya lelaki tua itu.
Bayu
mengangguk mantap, “Iya, Pak.”
Lelaki
tua itu sunggingkan senyum sambil mengangkat gelas yang ada di atas mejanya. “Masih
pagi loh, Bayu. Ke sini dulu, kita ngeteh-ngeteh,” ajaknya.
Bayu
tampak bimbang dengan ajakan itu. Sesungguhnya, dia sangat ingin meminum teh
hangat dengan lelaki tua tetangganya itu, sebab Bayu sudah lama tidak menyapa
tetangganya. Dia juga bisa menghangatkan tubuhnya setelah kedinginan akibat
mandi. Namun, di satu sisi dia juga dia mesti cepat-cepat kuliah, sebab takut
telat. Apalagi, dosen untuk mata kuliahnya kali ini dikenal galak dan tegas,
yang tak segan-segan menindaklanjuti mahasiswa yang telat masuk.
Setelah
agak lama menimang-nimang, dia memutuskan untuk minum teh dulu dengan
tetangganya itu. “Mungkin cuma sepuluh menitan,” ucap Bayu dalam hati.
Pemuda
itu mendekati lelaki tua dengan penuh semangat. Senyumnya selalu mengembang di
wajah tampannya. Setelah sampai, dia langsung duduk di bangku yang masih
kosong. Matanya menatap ke ketel teh yang dipenuhi dengan kepulan asap yang
menggoda.
Lelaki
tua itu tampak antusias menyambut Bayu. Tanpa menunggu ucapan Bayu, dia
langsung menuang ketel tehnya ke gelas kosong untuk disuguhkan kepada tetangga
mudanya itu. Senyuman hangat tak lepas di wajahnya.
“Ayo
diminum dulu, mumpung masih hangat,” ucap lelaki tua itu.
“Iya,
Pak. Makasih,” ucap Bayu sambil mengambil gelas di depannya, lalu meniupnya.
“Jangan
sungkan-sungkan kalau ke sini, Bayu,” ucap lelaki tua itu sambil memegangi
gelas teh miliknya, “saya tiap pagi selalu membuat minuman teh. Saya sangat
suka teh. Saya sangat senang jika kamu menemani saya minum teh pagi-pagi
begini. Gak usah diminta pun kamu datang ke sini saja, temani saya.”
“Iya,
Pak,” sahut Bayu agak malu-malu.
Sudah
cukup lama Bayu menjadi tetangga lelaki itu. Bisa dikatakan, sejak Bayu masih
kecil keduanya sudah saling kenal. Ayah dan ibunya Bayu pun sudah sangat dekat
dengan lelaki tua itu. Namun, ayah dan ibu Bayu kini tak jelas nasibnya. Bahkan
bisa dikatakan menghilang sejak sebulan yang lalu.
Bayu
bahkan sudah meminta bantuan polisi untuk menemukan ayah dan ibunya. Namun
hasilnya nihil. Batang hidung keduanya sangat sulit ditemukan. Bayu hanya tabah
dalam menghadapi ini semua.
Bayu
yang pendiam kini mulai sosialisasi dengan tetangganya, salah satunya adalah
lelaki tua itu. Dia ingin tahu sosok ayah dan ibunya di mata tetangga. Sejak
itulah, Bayu selalu diajak jamuan minum teh hangat oleh lelaki tua itu. Jika
Bayu lewat ketika hendak kuliah, dia pasti dipanggil oleh tetangganya yang
sudah stand by di halamannya.
Selama
minum teh, lelaki itu senang mengisahkan kehidupannya semasa muda dulu. Kini
dia tak punya siapa-siapa lagi. Bahkan tak ada sanak famili satu pun yang
menjenguknya. Bayu pun menjadi iba dan selalu menemaninya walau hanya minum teh
hangat.
“Wah,
tehnya semakin ke sini semakin enak banget, Pak. Beda jauh sama teh-teh yang
ada di toko-toko,” puji Bayu senang ambil meletakkan gelasnya di atas meja.
Lelaki
tua yang duduk di depannya hanya sunggingkan senyum sambil mengangguk-angguk. “Teh
buatan saya ini memang istimewa. Ada teknik khusus untuk membuatnya. Tidak
asal-asalan,” ucapnya bangga, lalu meniup teh dalam gelasnya.
“Oh,
ya? Bagaimana membuatnya, Pak?” tanya Bayu.
Lelaki
tua itu masih layangkan senyum. “Nanti akan saya kasih tahu,” sahutnya. Dia
menuangkan lagi ketel teh ke gelas Bayu yang sudah kosong. “Ayo, tambah lagi.
Mumpung masih banyak tehnya.”
“Sudah
kenyang, Pak. Sudah. Saya mesti cepet-cepet kuliah, nih. Takut telat. Maklum,
dosennya galak,” sahut Bayu menolak.
Lelaki
tua itu agak kecewa dengan penolakan tetangga mudanya itu. Dia lantas meminum
habis teh di gelas miliknya.
“Ya,
sudah. Tidak apa-apa, Bayu.”
Bayu
langsung bangkit, “Saya kuliah dulu, Pak. Makasih atas jamuan tehnya. Nanti
kita ngeteh sama-sama lagi,” senyumnya, lalu meninggalkan lelaki itu.
Bayu
menatap sesaat ke tempat tinggalnya yang tepat di sebelah kediaman lelaki tua
itu. Dia memastikan kalau pintunya sudah menutup. Lalu, dia melangkah menjauh
menuju jalanan yang tepat di ujung gang.
***
Sang
lelaki tua tampak tenang menatap pintu depan di sebelah tempat tinggalnya. Dia
menanti sang penghuni untuk muncul ke depan sejak pagi buta. Dinginnya suasana
pagi tak dia pedulikan. Di depannya ada meja yang di atasnya ada dua gelas
kecil yang masih kosong dan sebuah ketel kaca. Tampak, ketel itu mengepulkan
asap.
Wajah
tuanya tampak senang tatkala melihat Bayu membuka pintu.
“Bayu,
ayo sini. Kita ngeteh dulu. Mumpung ini Minggu,” ajak lelaki tua tetangga Bayu
itu.
Sang
pemuda langsung menoleh kepada si penyapa. “Untuk pagi ini tidak dulu, Pak.”
“Kamu
mau ke mana?”
“Mau
joging dulu, Pak. Nanti saja ngetehnya, ya,” tolak Bayu sambil melakukan
pemanasan. Dia tampak memakai kostum basket.
“Ayolah,
lebih sehat kalau ngeteh dulu. Mumpung masih hangat, loh,” bujuk lelaki tua
itu.
“Tapi
saya sudah janjian sama kekasih saya untuk joging, Pak,” tolak Bayu halus. “Besok
saja, deh.”
Lelaki
tua itu tak kehilangan akal. Dia mencoba bujukan lain supaya Bayu mau
menemaninya minum teh. “Katanya kamu mau tahu bagaimana saya membuat teh enak
gini.”
Bayu
langsung menghentikan pemanasannya. Dia langsung mendekati tetangganya itu
dengan antusias. “Bapak mau kasih tahu saya bagaimana membuat teh ini?”
Lelaki
tua itu mengangguk. “Iya, Bayu. Tapi kamu mesti temani saya minum teh dulu,”
ucapnya.
“Wah,
saya mau banget tuh, Pak. Siapa tahu saja saya bisa membuat teh seenak Bapak.
Tapi, bisa tidak kalo ngetehnya nanti saja setelah saya lihat pembuatan tehnya,
Pak?”
“Bukannya
kamu sudah tidak ada waktu lagi, Bayu?” tanya lelaki tua itu memastikan.
Bayu
diam sejenak. Matanya menatap ke jam tangan yang ada di tangan kanannya. Dia
mulai bimbang. Hitung-hitungan waktu mulai dilakukannya. Dia tak mau sampai
hati mengecewakan sang kekasih akibat telat janjian. Tapi, dia juga sangat
ingin tahu pembuatan teh lelaki tua tetangganya itu.
“Waktunya
lama tidak, Pak?” tanya Bayu memastikan.
“Tidak
lama, kok. Hanya sepuluh menitan,” ucap lelaki tua itu dengan tenang.
Bayu
kembali memandangi jam tangannya. Dia tampak menghitung waktu yang bisa dia
gunakan untuk mendapatkan ilmu dadakan ini, di samping janjian dengan sang
kekasih.
“Tampaknya
cukup waktunya kalau cuma segitu sih, Pak. Ya sudah, ayo tunjukkan pada saya,
Pak,” ucap Bayu yang mulai semangat dan menggebu-gebu.
Lelaki
tua itu layangkan senyuman hangat, sehangat tehnya yang masih mengepulkan asap.
Dia sangat senang, sebab Bayu mau dibujuknya. Dia bangkit lalu masuk ke dalam
kediamannya, “Ayo, ikut saya ke dalam.”
Bayu
pun mengikuti ajakan tetangganya untuk memasuki kediamannya yang tampak
biasa-biasa saja. Tidak tampak kumuh ataupun mewah. Cukup untuk dihuni oleh
lelaki tua itu menghabiskan sisa hidupnya. Belasan tahun menjadi tetangga
lelaki tua itu, Bayu sama sekali belum memasuki tempat tinggalnya. Minum teh
pun hanya dilakukan di halamannya yang ditumbuhi banyak tanaman kumis kucing
dan satu pohon mangga.
Hidung
Bayu mulai mencium sesuatu yang aneh kala semakin masuk ke dalam. Dadanya
semakin sesak akibat bau itu. Namun, dia tidak tahu apa itu.
“Ini
bau apa ya, Pak?” tanya Bayu sambil menutup hidungnya.
Lelaki
tua itu tak menyahut.
Keduanya
kini telah sampai di sebuah gudang belakang. Belum juga satu menit di situ,
Bayu sudah mulai mual-mual dan pusing tatkala menatap kepala-kepala manusia
yang disusun di sebuah meja di pojok gudang. Mimik wajahnya menandakan bahwa
kepala-kepala itu telah mengalami sesuatu yang menyakitkan sebelumnya. Sesuatu
yang membuat nyawa-nyawa itu melayang. Bayu mengenali kepala-kepala itu yang tidak
lain adalah tetangga-tetangganya yang hilang tanpa jejak.
Yang
paling mengejutkan Bayu adalah, dia melihat kepala ayah dan ibunya dalam
susunan kepala-kepala itu. Hatinya menjadi pilu menyaksikan pemandangan itu.
Dadanya semakin sesak, bagai dihantam oleh sebuah batu. Hanya tanda tanya yang
kini memenuhi benaknya.
“Ini
bau mayat yang diawetkan,” jawab lelaki tua itu pelan, memecah keheningan.
“Apa
maksudnya ini, Pak?” tanya Bayu panik. Kepalanya semakin pusing menyaksikan
potongan kepala ayah dan ibunya.
“Saya
menyuling kepala-kepala itu dengan bahan-bahan biologis. Lihat, yang di samping
meja itulah alat penyulingnya,” tuding lelaki tua itu.
Bayu
menatap alat itu dengan pandangan memilukan. Alat itu layaknya sebuah alat
penggilingan padi. Ada sebuah tabung kaca di atasnya. Bayu bisa melihat di
tabung itu juga ada kepala manusia yang dicelupkan. Dia pun semakin mual
dibuatnya.
“Lalu,”
lanjut lelaki tua itu, “hasil sulingannya di-mix dengan daun teh asli dan melati untuk dijadikan minuman teh
yang katamu itu enak. Dalam kepala manusia mengandung otak, mata, hidung,
telinga, dan lain-lain. Jika semua itu dicelupkan sekaligus ke dalam cuka dan
disuling dengan alat selama 24 jam, itu akan menghasilkan wangi yang khas.
Kemudian di-mix dengan daun teh dan
melati, maka semua itu akan menjadi teh yang nikmat. Dengan kata lain,
kepala-kepala itulah untuk bahan baku tehnya,” jelas lelaki tua itu.
Bayu
tak bisa lagi menahan mualnya. Dia langsung muntah seketika. Sisa makanan yang
dimakan tadi malam membuncah semua ke lantai. Menimbulkan bau busuk pekat.
Pemuda itu tak bisa membayangkan kalau selama ini dia telah meminum minuman
hasil sulingan mayat.
Dia
ingin sekali meninggalkan tempat itu akibat tak tahan lagi dengan baunya.
Apalagi, dia juga tak tega melihat potongan kepala ayah dan ibunya. Dia ingin
sekali memekik dan menanyakan, ada apa semuanya ini? Apalagi dengan kelakuan
aneh tetangganya itu. Namun, tubuhnya melemas dan kaku. Seolah ada lem yang
sangat lengket menahannya supaya tak bisa ke mana-mana lagi.
“Kamu
tahu dengan kelakuanmu yang telah membuat saya sakit hati?” tanya lelaki tua
itu sinis. Pesona kehangatan sikapnya menjadi hilang, digantikan oleh sikap
dingin dan tampak menakutkan.
“Apa
yang telah saya lakukan, Pak?” tanya Bayu tak memahami maksud ucapan
tetangganya itu. Dia mengelap bekas muntahan di mulutnya dengan punggung
tangan. Napasnya kembang kempis akibat muntah. Peluh pun mulai membasahi kostum
basketnya akibat pengap.
“Kamu
tadi menolak ajakan saya untuk minum teh. Kamu tahu, saya paling benci yang
namanya penolakan. Bagi saya, penolakan itu adalah sebuah penghinaan. Dan itu
sangat menyakitkan.”
“Ta-tapi
saya sama sekali tidak ada maksud buat menghina Anda, Pak,” sahut Bayu cepat.
Dia mulai ketakutan dengan tetangganya itu. Dia juga ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat yang memualkan ini. Namun, bagai ada kekuatan yang
menahannya. Hal ini diakibatkan dia melihat potongan kepala ayah dan ibunya,
Bayu menjadi tak kuasa melangkah. Semua kenangan-kenangan sejak dia masih kecil
hingga kini, melintas di otak. Tubuhnya pun melemas. Tak kuasa menahan beban
kepiluan.
Lelaki
tua itu sunggingkan senyum sinis. “Bagi saya, itu sama saja. Pemilik
kepala-kepala itu juga sebelumnya melakukan penolakan kepada saya. Ayah dan
ibumu juga melakukan hal yang sama. Kini, kamu juga ikut-ikutan. Akan kubuat
kamu menyusul ayah dan ibumu. Kepalamu akan saya jadikan sebagai bahan baku
teh,” ucap lelaki tua itu.
Tanpa
diduga, lelaki tua itu sudah menggenggam sebuah kapak. Dia mengayunkannya
dengan cepat ke kepala Bayu. Meskipun sudah tua, dia masih mampu mengayunkan
kapak itu.
Bayu
mengelak dengan cepat. Dia menggulingkan tubuhnya ke samping supaya ayunan
kapak itu tidak mengenai tubuhnya. Kekuatannya seolah bangkit ketika nyawanya
dalam bahaya.
Tebasan
kapak mengenai lantai tanah. Telat sedikit saja, kepala Bayu akan putus.
Pemuda
itu kini mesti cepat ambil tindakan. Bayu pun langsung hengkang meninggalkan
tempat itu. Keinginannya untuk tetap hidup sangat kuat. Dia tak ingin mati
konyol di tangan psikopat gila yang sudah tua.
Tiba
di halaman kediaman lelaki tua, Bayu menoleh sesaat ke pintu depan. Lelaki tua
tetangganya hanya diam saja di ambang pintu sambil tetap memegang kapak. Bayu
pun menghentikan langkahnya.
“Anda
sudah gila, Pak!” pekik Bayu, “apa yang ada di benak Anda?! Kenapa ... kenapa
Anda bisa tega membunuh begitu?!”
Mimik
wajah lelaki tua itu tampak biasa saja. Tidak menampakkan kegelisahan dan
ketakutan jika Bayu meminta bantuan untuk menangkapnya. Tetap tenang. Bahkan
dia tidak takut jika Bayu menghilang.
“Saya
hanya ingin diakui. Saya tidak mau siapapun yang menolak keinginan saya. Hanya
itu,” jawab lelaki tua itu tenang.
“Lantas
kenapa Anda mesti membunuh begitu?!” pekik Bayu lagi.
Ting
... ting ...ting ...!
Belum
sempat Bayu mendapatkan jawaban, telinganya menangkap bunyi ponselnya di saku
celana. Dengan sigap dia mengambil benda itu.
Tampaknya,
kekasihnya yang menelepon. Dia pun langsung mengangkatnya.
“Halo,
Sayang. Maaf aku agak telat. Soalnya ....”
Belum
sempat dia melanjutkan kata-katanya, sebuah kapak melayang dan menancap tepat
di dahinya. Bayu pun langsung tumbang ke tanah dan tewas seketika. Ponselnya pun
lepas.
“Halo!
Halo! Bayu! Kamu kenapa?” pekik sang wanita di telepon.
Tit!
Sambungan
telepon diputus oleh sang tetangga Bayu yang mendekat. Dialah yang melayangkan
kapak itu dengan memanfaatkan kelengahan Bayu.
“Kamu
lengah, Bayu. Mestinya dalam keadaan begitu, pandangan matamu tetap kepada
saya, bukan ke yang lain. Walau saya sudah tua, saya masih sanggup membunuh
dengan kapak.”
Lelaki
tua itu mencabut kapaknya yang menancap di kepala Bayu. Kemudian, dia jongkok. “Saya
katakan lagi. Saya ini benci ditolak. Bahkan kamu sudah menolak saya dua kali.
Menolak untuk ikut minum teh dan menolak untuk menjadikan kepalamu sebagai
bahan baku teh. Mau tak mau, kamu mesti menjadi teh nikmat untuk menemaniku
tiap pagi, Bayu. Dan juga ayah ibumu.”
Dia
menatap sekeliling untuk memastikan keadaan. Kemudian, dia membawa mayat Bayu
masuk ke dalam kediamannya.